JATIMTIMES - Polemik tembok di kawasan Perumahan Griya Shanta kembali menjadi sorotan. Wakil Ketua Komisi C DPRD Kota Malang, Dito Arief Nurakhmadi, menilai bahwa permasalahan tersebut tidak bisa dilihat secara parsial. Menurutnya, isu ini harus dipahami secara holistik, karena melibatkan banyak kepentingan lintas pihak.
“Prosesnya panjang dan kompleks. Termasuk soal penyerahan PSU yang sudah dilakukan sejak tahun 1997, itu sudah lama sekali. Jadi tidak bisa hanya melihat dari satu sisi saja,” ujar Dito, yang juga merupakan warga dan bagian dari lingkungan akademika Universitas Brawijaya (UB).
Baca Juga : HKN ke-61, DPRD dan Pemkab Blitar Teguhkan Komitmen Mewujudkan Masyarakat Sehat dan Produktif
Dito menjelaskan, sedikitnya ada empat entitas yang berkepentingan dalam persoalan tersebut. Selain warga dan pengembang, Universitas Brawijaya juga memiliki peran penting karena memiliki lahan sekitar empat hektare di sekitar kawasan tersebut.
“Brawijaya juga sebenarnya punya kepentingan di sana. Bahkan dulu pernah mencoba membuka akses jalan dengan membeli tiga atau empat rumah di kawasan Griya Shanta. Tapi upaya itu ditolak,” ungkapnya.
Karena itu, Dito menilai penting bagi semua pihak untuk duduk bersama mencari solusi terbaik. Ia menegaskan, Pemerintah Kota Malang harus mengambil peran sebagai mediator dan pembuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan umum.
“Selama ini kesannya hanya antara pengembang dan warga. Padahal, ada juga kepentingan pendidikan, kepentingan mahasiswa, dan kepentingan masyarakat luas. Jadi Pemkot harus berpijak pada regulasi dan legal standing yang jelas,” tegasnya.
Menurut Dito, langkah tegas Pemkot Malang sangat dibutuhkan agar permasalahan ini tidak berlarut-larut. Ia juga mendorong Universitas Brawijaya untuk ikut berbicara dan berperan aktif dalam penyelesaian masalah tersebut.
Baca Juga : Renny Pramana DPRD Jatim Dukung Perluasan Layanan Program Cek Kesehatan Gratis
“Kalau legalitasnya sudah kuat dan posisi Pemkot juga jelas, maka kebijakan harus tegas. Tapi semua pihak harus diajak bicara — RW 12, RW 9, pemilik lahan, pengembang, maupun pihak Brawijaya. Sampai sekarang saya tahu belum pernah ada komunikasi yang menyeluruh di sana,” imbuh Dito.
Dito pun berharap agar ke depan, penyelesaian masalah Griya Shanta tidak hanya fokus pada satu kepentingan saja. “Harus dilihat secara utuh, dan dasarnya adalah regulasi. Jangan sampai keputusan yang diambil justru memunculkan persoalan baru di kemudian hari,” tandasnya.
