Cemooh dari Bani Israil Saat Nabi Muhammad SAW Memalingkan Kiblat ke Ka'bah
Reporter
Anggara Sudiongko
Editor
Nurlayla Ratri
11 - Nov - 2025, 09:06
JATIMTIMES - Langit Madinah kala itu saksi dari sebuah peristiwa besar yang mengguncang arah ibadah umat Islam. Perintah Ilahi turun, mengubah arah kiblat dari Masjid al-Aqsha di Palestina menuju Ka'bah, rumah suci di Makkah. Bukan sekadar perubahan arah shalat, melainkan penegasan identitas dan ketaatan, bahwa umat ini berdiri di atas wahyu, bukan di bawah tekanan siapa pun.
Peristiwa penting itu terjadi pada bulan Rajab tahun ke-12 Hijriah. Saat itu, Rasulullah SAW sedang memimpin shalat berjamaah, dalam sebagian riwayat disebut shalat zuhur, sementara lainnya menyebut shalat ashar. Baru dua rakaat dilalui, ketika wahyu Allah dalam surah al-Baqarah ayat 144 turun. Seketika, Nabi berputar ke arah Ka'bah, dan seluruh jamaah pun mengikuti beliau tanpa ragu. Dalam detik itu, sejarah berubah arah.
Baca Juga : MIN 2 Kota Malang Ukir Prestasi Nasional, Raih Juara 2 Lomba Paduan Suara Kemenag RI
Namun, perubahan suci itu justru disambut sinis oleh sebagian kaum Yahudi di Madinah. Mereka merasa Nabi Muhammad SAW telah “memutus tradisi” yang sebelumnya mereka anggap sama: kiblat ke Baitul Makdis.
Beberapa tokoh Yahudi, Rafa’ah bin Qais, Qardam bin Amr, Ka’b bin al-Asyraf, Rafi’ bin Abi Rafi’, dan al-Hajjaj bin Amr, mendatangi Rasulullah dengan nada penuh cemooh. Mereka menuding Nabi berpaling dari ajaran para nabi terdahulu. “Wahai Muhammad,” kata mereka dengan angkuh, “mengapa engkau meninggalkan kiblat al-Aqsha? Bukankah Ibrahim juga menjadikan itu arah ibadahnya? Kembalilah ke arah semula agar kami mempercayaimu kembali.”
Di tengah provokasi itu, turunlah wahyu menegaskan posisi umat Islam. “Orang-orang yang kurang akal di antara manusia akan berkata, ‘Apa yang memalingkan mereka dari kiblat yang dahulu mereka hadapi?’ Katakanlah, ‘Milik Allah timur dan barat, Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.’” (QS al-Baqarah: 142)
Wahyu ini menjadi jawaban sekaligus garis pemisah yang tegas: arah ibadah umat Islam ditentukan bukan oleh tradisi manusia, melainkan oleh kehendak Allah SWT.
Peralihan kiblat menjadi momen ujian keimanan.
Siapa yang mengikuti Rasul berarti tunduk sepenuhnya kepada wahyu, sementara yang menolak menunjukkan keraguan dalam hatinya. Allah kemudian menegaskan kembali dalam QS al-Baqarah: 143, bahwa umat Islam dijadikan “ummatan wasathan”, umat pertengahan yang adil dan seimbang, agar menjadi saksi bagi manusia dan menjadi panutan bagi kehidupan.
Baca Juga : Tim Sakaresek STIE Malangkucecwara Siap Berlaga di Final KMI Expo XVI
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada manusia.”
Peristiwa ini bukan sekadar perubahan arah shalat, tapi juga penegasan spiritual dan ideologis: bahwa Islam tidak bergantung pada kesamaan simbolik dengan umat terdahulu. Ia berdiri sebagai agama yang lurus, berpusat pada ketundukan kepada Allah, bukan pada tradisi atau tekanan sosial.
Kaum Yahudi boleh nyinyir, tapi arah iman tak pernah berubah. Ka’bah kini menjadi poros dunia Muslim, tempat jutaan hati menunduk dan menyatu dalam sujud. Dan sejak hari itu, sejarah mencatat: arah ibadah bukan sekadar ke mana wajah menghadap, tetapi ke mana hati tertuju, menuju Dia yang memiliki timur dan barat.
